Ramadhan
tahun ini bersamaan waktunya dengan
bulan Agustus. Bersamaan datangnya bulan Ramadhan dengan masuknya bulan Agustus
bukanlah sesuatu peristiwa yang luar biasa. Alam telah menentukan terjadinya
kesamaan itu. Dalam perjalanan sejarah manusia, setidaknya sejak sistem
penanggalan Masehi dan Hijrah diperkenalkan, sudah ratusan kali bulan Ramadhan
bersamaan waktunya (secara keseluruhan atau sebagian) dengan bulan Agustus.
Namun, bagi bangsa Indonesia
umumnya dan umat Islam Indonesia
khususnya, bersamaan datangnya bulan Ramadhan dan Agustus memiliki makna
tersendiri. Tidak itu saja, kesamaan itu telah melahirkan sejumlah mitos di
kalangan anak bangsa ini. Makna apa dan mitos apa yang hadir dari kesamaan itu?
Secara historis, kemerdekaan RI
yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 itu bersamaan waktunya dengan 8
Ramadhan 1364 H. Dengan demikian, telah menjadi kenyataan, kemerdekaan RI
dinyatakan pada bulan Ramadhan. Karena itu, Ramadhan dan Agustus dimaknai
sebagai bulan kemerdekaan, baik dalam pengertian rohani/jiwa atau dalam
pengertian fisik. Ramadhan dimaknai sebagai bulan kemerdekaan rohani, jiwa,
mental dan spritual dari cengkeraman hawa nafsu, dari godaan dan rayuan setan
laknatullah. Agustus dimaknai sebagai bulan kemerdekaan warga dan bangsa Indonesia
dari genggaman, penindasan, serta eksploitasi kaum kolonialis dan imperialis.
Dengan kata lain, orang Indonesia
umumnya dan umat Islam Indonesia
khususnya memaknai bahwa bulan Ramadhan dan Agustus sebagai bulan kemerdekaan.
Sebagai bagian dari homo symbolicus
atau homo myth, telah beragam mitos dibuat, diciptakan, dan dihadirkan oleh
orang Indonesia mengenai kesamaan ”jatuhnya” Ramadhan dan Agustus itu.
Perayaan—yang umumnya dikhidmat-khidmatkan—dilaksanakan bila 17 Agustus jatuh
pada Ramadhan. Seiring dengan itu, pidato para pejabat khususnya juga bersifat
lebih religius. Perayaan 17 Agustusan pun juga lebih sopan dan bernuansakan
islami. Mitologisasi juga terlihat dari adanya sejumlah kota/daerah di
Nusantara ini yang mencarikan hari lahirnya dengan cara mengait-ngaitkan
kelahirannya dengan peristiwa historis yang terjadi pada saat bulan Ramadhan
yang bersamaan waktunya dengan bulan Agustus.
Secara historis, mitologisasi
kemerdekaan dalam hubungan antara Ramadhan dengan Agustus mulai dikemukakan
tahun 1946, tepatnya pada saat Indonesia
merayakan hari kemerdekaannya yang pertama. Pada saat itu, secara kebetulan
atau tidak, berbagai pidato petinggi negara, mulai dari Presiden Soekarno, para
gubernur, residen, bupati, wedana, camat, dan kepala desa, serta tidak
terkecuali para pemimpin formal atau infomal mengaitkan spirit kemerdekaan
rohani/jiwa yang diperoleh melalui puasa Ramadhan dengan kemerdekaan fisik 17
Agustus 1945 yang didapat dengan perjuangan lahir dan batin menentang para
penjajah. Berbagai spanduk yang dipasang dan coretan yang dibuat saat itu juga
berisikan pernyataan yang sama. Dari berbagai sumber sejarah diketahui, bahwa
fenomena ini terjadi di hampir seluruh pelosok negeri, termasuk di
daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim (yang tidak memahami
Ramadhan sebagai bulan puasa).
Sejak tahun 1946 hingga saat
sekarang, dalam berbagai kesempatan, terutama bila Ramadhan datang bersamaan
dengan bulan Agustus, maka mitos-mitos tersebut kembali diapungkan.
Tahun ini, aroma mitologisasi makna
kemerdekaan dari kesamaan masuknya Ramadhan dengan Agustus telah tercium di
atmosfer bangsa. Beberapa pejabat dan politisi khususnya serta penceramah atau
penulis umumnya telah menghangat-hangat hubungan antara Ramadhan dengan
kemerdekaan RI itu. Bahkan, ada yang mewacanakan bahwa perayaan kemerdekaan RI
yang jatuh pada bulan Ramadhan tahun ini sejatinya diisi juga dengan
”pemerdekaan” atau pengampunan dan pembebasan sebagian anak bangsa yang telah
berbuat dosa (yang memaling dan mengorup uang rakyat dan harta negara).
Mitologisasi akhir-akhir ini (apalagi
yang disebut terakhir di atas) sangat jauh bedanya dengan mitos-mitos kesamaan
antara Ramadhan dan kemerdekaan RI yang diciptakan para pemimpin di masa
lampau. Di masa lampau mitos itu diciptakan untuk menumbuhkan rasa cinta pada
tanah air. Mitos dibuat juga untuk menghadirkan sikap mau berkorban dan rela
menderita bagi anak negeri guna kemerdekaan dan keutuhan bangsa. Penciptaan
mitos tahun 1946—sebagai contoh—adalah sebagai bagian upaya pemimpin negeri
untuk menumbuhkan semangat perlawanan (patriotisme dan nasionalisme) anak
bangsa menghadapi kedatangan kembali Belanda (NICA) yang membonceng bersama
tentara sekutu. Di samping itu, mitos tahun 1946 tersebut dibuat oleh para
pemimpin yang telah teruji kenegarawannya. Mitos yang dibuat dewasa ini (apalagi
yang terakhir), cenderung tidak menyentuh kepentingan keseluruhan anak bangsa
dan tidak ditujukan untuk kepentingan negara bangsa. Dan, sejalan dengan itu,
para pencipta mitosnya juga bukan para politisi dan pejabat yang mumpuni,
mereka bukan pemimpin dan bukan negarawan.
Mitos memang perlu, tetapi kalau
terlalu banyak mitos akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan jiwa anak
bangsa. Apalagi sebagian mitos itu sesat, menyesatkan, serta tidak cerdas.
Padahal, pandangan, gagasan dan ide yang bernas, serta orang cerdaslah yang
dibutuhkan bangsa ini
Posting Komentar