Selamat datang di CaraGampang.Com

Makna Ramadhan & Hari Kemerdekaan RI

Jumat, 17 Agustus 20120 comments


Ramadhan tahun ini bersamaan waktunya dengan bulan Agustus. Bersamaan datangnya bulan Ramadhan dengan masuknya bulan Agustus bukanlah sesuatu peristiwa yang luar biasa. Alam telah menentukan terjadinya kesamaan itu. Dalam perjalanan sejarah manusia, setidaknya sejak sistem penanggalan Masehi dan Hijrah diperkenalkan, sudah ratusan kali bulan Ramadhan bersamaan waktunya (secara keseluruhan atau sebagian) dengan bulan Agustus.
Namun, bagi bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya, bersamaan datangnya bulan Ramadhan dan Agustus memiliki makna tersendiri. Tidak itu saja, kesamaan itu telah melahirkan sejumlah mitos di kalangan anak bangsa ini. Makna apa dan mitos apa yang hadir dari kesamaan itu?
Secara historis, kemerdekaan RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 itu bersamaan waktunya dengan 8 Ramadhan 1364 H. Dengan demikian, telah menjadi kenyataan, kemerdekaan RI dinyatakan pada bulan Ramadhan. Karena itu, Ramadhan dan Agustus dimaknai sebagai bulan kemerdekaan, baik dalam pengertian rohani/jiwa atau dalam pengertian fisik. Ramadhan dimaknai sebagai bulan kemerdekaan rohani, jiwa, mental dan spritual dari cengkeraman hawa nafsu, dari godaan dan rayuan setan laknatullah. Agustus dimaknai sebagai bulan kemerdekaan warga dan bangsa Indonesia dari genggaman, penindasan, serta eksploitasi kaum kolonialis dan imperialis. Dengan kata lain, orang Indonesia umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya memaknai bahwa bulan Ramadhan dan Agustus sebagai bulan kemerdekaan.
Sebagai bagian dari homo symbolicus atau homo myth, telah beragam mitos dibuat, diciptakan, dan dihadirkan oleh orang Indonesia mengenai kesamaan ”jatuhnya” Ramadhan dan Agustus itu. Perayaan—yang umumnya dikhidmat-khidmatkan—dilaksanakan bila 17 Agustus jatuh pada Ramadhan. Seiring dengan itu, pidato para pejabat khususnya juga bersifat lebih religius. Perayaan 17 Agustusan pun juga lebih sopan dan bernuansakan islami. Mitologisasi juga terlihat dari adanya sejumlah kota/daerah di Nusantara ini yang mencarikan hari lahirnya dengan cara mengait-ngaitkan kelahirannya dengan peristiwa historis yang terjadi pada saat bulan Ramadhan yang bersamaan waktunya dengan bulan Agustus.
Secara historis, mitologisasi kemerdekaan dalam hubungan antara Ramadhan dengan Agustus mulai dikemukakan tahun 1946, tepatnya pada saat Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang pertama. Pada saat itu, secara kebetulan atau tidak, berbagai pidato petinggi negara, mulai dari Presiden Soekarno, para gubernur, residen, bupati, wedana, camat, dan kepala desa, serta tidak terkecuali para pemimpin formal atau infomal mengaitkan spirit kemerdekaan rohani/jiwa yang diperoleh melalui puasa Ramadhan dengan kemerdekaan fisik 17 Agustus 1945 yang didapat dengan perjuangan lahir dan batin menentang para penjajah. Berbagai spanduk yang dipasang dan coretan yang dibuat saat itu juga berisikan pernyataan yang sama. Dari berbagai sumber sejarah diketahui, bahwa fenomena ini terjadi di hampir seluruh pelosok negeri, termasuk di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim (yang tidak memahami Ramadhan sebagai bulan puasa).
Sejak tahun 1946 hingga saat sekarang, dalam berbagai kesempatan, terutama bila Ramadhan datang bersamaan dengan bulan Agustus, maka mitos-mitos tersebut kembali diapungkan.
Tahun ini, aroma mitologisasi makna kemerdekaan dari kesamaan masuknya Ramadhan dengan Agustus telah tercium di atmosfer bangsa. Beberapa pejabat dan politisi khususnya serta penceramah atau penulis umumnya telah menghangat-hangat hubungan antara Ramadhan dengan kemerdekaan RI itu. Bahkan, ada yang mewacanakan bahwa perayaan kemerdekaan RI yang jatuh pada bulan Ramadhan tahun ini sejatinya diisi juga dengan ”pemerdekaan” atau pengampunan dan pembebasan sebagian anak bangsa yang telah berbuat dosa (yang memaling dan mengorup uang rakyat dan harta negara).
Mitologisasi akhir-akhir ini (apalagi yang disebut terakhir di atas) sangat jauh bedanya dengan mitos-mitos kesamaan antara Ramadhan dan kemerdekaan RI yang diciptakan para pemimpin di masa lampau. Di masa lampau mitos itu diciptakan untuk menumbuhkan rasa cinta pada tanah air. Mitos dibuat juga untuk menghadirkan sikap mau berkorban dan rela menderita bagi anak negeri guna kemerdekaan dan keutuhan bangsa. Penciptaan mitos tahun 1946—sebagai contoh—adalah sebagai bagian upaya pemimpin negeri untuk menumbuhkan semangat perlawanan (patriotisme dan nasionalisme) anak bangsa menghadapi kedatangan kembali Belanda (NICA) yang membonceng bersama tentara sekutu. Di samping itu, mitos tahun 1946 tersebut dibuat oleh para pemimpin yang telah teruji kenegarawannya. Mitos yang dibuat dewasa ini (apalagi yang terakhir), cenderung tidak menyentuh kepentingan keseluruhan anak bangsa dan tidak ditujukan untuk kepentingan negara bangsa. Dan, sejalan dengan itu, para pencipta mitosnya juga bukan para politisi dan pejabat yang mumpuni, mereka bukan pemimpin dan bukan negarawan.
Mitos memang perlu, tetapi kalau terlalu banyak mitos akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan jiwa anak bangsa. Apalagi sebagian mitos itu sesat, menyesatkan, serta tidak cerdas. Padahal, pandangan, gagasan dan ide yang bernas, serta orang cerdaslah yang dibutuhkan bangsa ini

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Cara Gampang | Creating Website | Johny Template | Mas Templatea | Pusat Promosi
Copyright © 2011. MIN KAUMAN UTARA JOMBANG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modify by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger